Rabu, 11 Januari 2012

PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR



 
Oleh: Fachrurazi
ABSTRAK
Pada era informasi sekarang ini, kemampuan berpikir kritis menjadi kemampuan yang sangat diperlukan agar siswa sanggup menghadapi perubahan keadaan atau tantangan-tantangan di dalam kehidupan  yang  selalu  berkembang.  Begitu  pula  dengan  kemampuan  komunikasi  matematis sebagai  salah  satu  kompetensi  yang  harus  dipelajari  dalam  pelajaran  matematika.  Namun demikian, dalam pembelajaran matematika di sekolah selama ini belum banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan dua kemampuan ini. Penelitian ini berfokus pada upaya mengungkapkan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis, sebagai akibat yang diberikan berupa perlakuan pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan sampelnya adalah siswa kelas IV SD di Kecamatan Makmur Kabupaten Bireuen dari tiga kategori sekolah dengan level tinggi, sedang dan rendah   sebanyak enam kelas dengan tiga kelas eksperimen dan tiga  kelas  kontrol.  Berdasarkan  hasil  penelitian  diperoleh  kesimpulan  antara  lain  terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar matematika menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari faktor pembelajaran dan level sekolah. Selain itu, berdasarkan data angket memperlihatkan bahwa siswa yang pembelajarannya dengan model pembelajaran berbasis masalah sebagian besar bersikap positif terhadap pembelajaran matematika. Penulis merekomendasi kepada guru yang mengajar matematika untuk menggunakan model pembelajaran berbasis masalah secara tepat dengan menyajikan masalah menantang yang sesuai  dengan  kemampuan  awal  siswa,  intervensi  guru  seminimal  mungkin  dalam  proses pembelajaran, dan mengupayakan interaksi antar siswa berlangsung secara optimal.
Kata kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Kemampuan Berpikir Kritis, dan
Kemampuan Komunikasi Matematis
PENDAHULUAN
Perubahan cepat dan pesat sering kali terjadi dalam berbagai bidang seperti pendidikan, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya. Hal ini memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat, dan   mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Di sisi lain kita tidak mungkin untuk mempelajari keseluruhan informasi dan pengetahuan yang tersedia karena sangat banyak dan tidak semuanya berguna dan diperlukan (Dikti dalam Hidayat, 2010). Kondisi seperti ini merupakan tantangan yang hanya dihadapi oleh orang-orang  terdidik  dan  mempunyai  kemampuan  mendapatkan,  memilih,  dan  mengolah informasi atau pengetahuan dengan efektif dan efisien. Agar orang-orang terdidik di masa depan mempunyai kemampuan seperti yang dikemukakan    tadi diperlukan sistem pendidikan yang berorientasi pada pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, kreatif, sistematis dan logis (Depdiknas, 2003). Hal ini sangat mungkin dimunculkan dalam pembelajaran matematika karena mengingat semua kemampuan tersebut merupakan bagian dari tujuan pembelajaran matematika (Depdiknas, 2003). Oleh karena itu pelajaran matematika perlu diberikan kepada setiap siswa sejak sekolah dasar.
Pentingnya  mengajarkan  dan  mengembangkan  kemampuan  berpikir  kritis  harus dipandang sebagai sesuatu yang urgen dan tidak bisa disepelekan lagi. Penguasaan kemampuan berpikir kritis tidak cukup dijadikan sebagai tujuan pendidikan semata, tetapi juga sebagai proses fundamental  yang  memungkinkan  siswa  untuk  mengatasi  ketidaktentuan  masa  mendatang (Cabera, 1992). Sungguh sangat naif apabila kemampuan berpikir kritis diabaikan oleh guru.
Upaya memfasilitasi agar kemampuan berpikir kritis siswa berkembang menjadi sangat penting, mengingat beberapa hasil penelitian masih mengindikasikan rendahnya    kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia. Hasil penelitian Suryanto dan Somerset (Zulkardi, 2001) terhadap 16 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan hasil tes mata  pelajaran  matematika  sangat  rendah,  utamanya  pada  soal  cerita  matematika (aplikasi matematika). Kemampuan aplikasi merupakan bagian dari domain kognitif yang lebih rendah daripada kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi. Ketiga kemampuan tersebut digolongkan oleh Bloom (Duron, dkk., 2006) dalam kemampuan berpikir kritis.
Hasil penelitian Priatna (2003) menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa SMP di kota Bandung masih belum memuaskan, yaitu hanya mencapai sekitar 49% dan 50% dari   skor ideal. Selanjutnya Suryadi (2005) menemukan bahwa siswa kelas dua SMP di kota dan Kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam kemampuan mengajukan argumentasi, menerapkan konsep yang relevan, serta menemukan pola bentuk umum (kemampuan induksi). Hal ini menunjukkan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa, karena menurut Krulik dan Rudnick  (Rohayati,
2005)  bahwa  penalaran  mencakup  berpikir  dasar (basic  thinking),  berpikir  kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thingking).
Rendahnya kemampuan berpikir kritis juga terungkap dari hasil penelitian Mayadiana (2005) bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai  36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA,  26,62% untuk mahasiswa berlatar belakang Non-IPA, serta  34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. Hal serupa juga berdasarkan hasil  penelitian  Maulana  (2008)  bahwa  nilai  rata-rata  kemampuan  berpikir  kritis  mahasiswa program D2 PGSD kurang dari 50% skor maksimal.
Tim Survey IMSTEP-JICA (1999) di kota Bandung berikutnya, antara lain menemukan sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk mempelajarinya dan oleh guru untuk mengajarkannya  antara    lain,  pembuktian  pemecahan  masalah  yang  memerlukan  penalaran matematis, menemukan, generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan. Kegiatan-kegiatan yang dianggap   sulit tersebut, kalau kita perhatikan merupakan  kegiatan  yang  menuntut  kemampuan  berpikir  kritis.  Dengan  demikian  dapat disimpulkan bahwa hasil survei tersebut menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan jika dihadapkan kepada persoalan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis.
Dari temuan-temuan di atas dapat dipahami bahwa kemampuan berpikir kritis siswa memang tidak dibiasakan untuk diajarkan sejak sekolah dasar. Sehingga tampak dengan jelas ketika siswa beranjak ke tingkat SMP, SMA hingga perguruan tinggi kemampuan kemampuan berpikir kritis menjadi masalah terhadap mahasiswa itu sendiri. Hal ini akan menjadi sebuah kekhawatiran yang sangat besar jika kemampuan berpikir kritis tidak diajarkan sejak sekolah dasar.  Dengan  demikian  kemampuan  berpikir  kritis  siswa  sekolah  dasar  perlu  untuk  segera ditingkatkan, karena akan berdampak pada jenjang pendidikan selanjutnya.
Selain  mengembangkan  kemampuan  berpikir  kritis,  mengembangkan  kemampuan komunikasi matematis perlu dilakukan oleh guru dalam pembelajaran matematika. Kemampuan komunikasi matematis perlu menjadi fokus perhatian dalam pembelajaran matematika, sebab melalui komunikasi, siswa dapat mengorganisasi dan mengonsolidasi berpikir matematikanya dan siswa dapat mengeksplorasi ide-ide matematika (NCTM, 2000). Oleh karena itu, siswa perlu dibiasakan dalam pembelajaran untuk memberikan argumen terhadap setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi bermakna baginya. Hal ini berarti guru harus berusaha untuk mendorong siswanya agar mampu berkomunikasi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembelajaran matematika di Indonesia dalam aspek komunikasi matematis masih rendah. Rendahnya kemampuan komunikasi matematis ditunjukkan dalam studi Rohaeti (2003) bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa berada dalam kualifikasi kurang. Demikian juga Purniati  (2003) menyebutkan bahwa respons siswa terhadap soal-soal komunikasi matematis umumnya kurang. Hal ini dikarenakan soal-soal pemecahan masalah dan komunikasi matematis masih merupakan hal-hal yang baru, sehingga siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.
Sementara itu pada laporan TIMSS 2003, siswa Indonesia berada pada posisi 34 dari 45 negara yang disurvei. Prestasi Indonesia jauh di bawah Negara-negara Asia lainnya. Dari kisaran rata-rata  skor  yang  diperoleh  oleh  setiap  Negara 400-625  dengan  skor  ideal 1.000,  nilai matematika Indonesia berada pada skor 411. Khususnya kemampuan komunikasi matematis siswa Indonesia, laporan TIMSS  (Suryadi,  2005) menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam komunikasi matematika sangat jauh di bawah Negara-negara lain. Sebagai contoh, untuk permasalahan matematika yang menyangkut kemampuan komunikasi matematis, siswa Indonesia yang berhasil benar hanya 5% dan jauh di bawah Negara seperti Singapura, Korea, dan Taiwan yang mencapai lebih dari 50%.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka guru sangat berperan dalam mendorong terjadinya proses belajar secara optimal sehingga siswa belajar secara aktif. Sumarmo (1997) mengatakan agar  pembelajaran  dapat  memaksimalkan  proses  dan  hasil  belajar  matematika,  guru  perlu mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan dan memberikan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa usaha perbaikan proses pembelajaran melalui upaya pemilihan model pembelajaran yang tepat dan inovatif dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas  proses  dan  hasil  belajar  adalah  model  Pembelajaran  Berbasis  Masalah (PBM). Pembelajaran  Berbasis  masalah  memiliki  ciri-ciri  seperti            (Tan,    2003;  Wee  &  Kek,  2002); pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah, masalah memiliki konteks dengan dunia nyata, siswa  secara  berkelompok  aktif  merumuskan  masalah  dan  meng-identifikasi  kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait dengan masalah dan melaporkan  solusi  dari  masalah.  Sementara  pendidik  lebih  banyak  memfasilitasi.  Dengan demikian dalam PBM guru tidak menyajikan konsep matematika dalam bentuk yang sudah jadi, namun melalui kegiatan pemecahan masalah siswa digiring ke arah menemukan konsep sendiri (reinvention).
Paparan   di   atas   tentang   pembelajaran   berbasis   masalah   menunjukkan   bahwa pembelajaran tersebut berpotensi mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa.
Berdasarkan  permasalahan  yang  telah  dipaparkan  di  atas  maka  rumusan  masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:  (1) Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar matematika menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional?; (2) Apakah terdapat perbedaan  peningkatan  kemampuan  berpikir  kritis  antara  siswa  yang  belajar  matematika
menggunakan   model   pembelajaran   berbasis   masalah   dengan   siswa   yang   memperoleh pembelajaran  secara  konvensional  ditinjau  dari  level  sekolah (tinggi,  sedang,  rendah)?; (3) Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar  matematika  menggunakan  model  pembelajaran  matematika  berbasis  masalah  dengan siswa  yang  memperoleh  pembelajaran  konvensional?; (4)  Apakah     terdapat  perbedaan peningkatan  kemampuan  komunikasi  matematis  antara  siswa  yang  belajar  matematika menggunakan   model   pembelajaran   berbasis   masalah   dengan   siswa   yang   memperoleh pembelajaran secara konvensional ditinjau dari level sekolah (tinggi, sedang, rendah)?; dan (5) Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model pembelajaran berbasis masalah?
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)                  Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa    antara yang belajar matematika menggunakan  model  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan  siswa  yang  menggunakan pembelajaran konvensional;
2)                  Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang belajar matematika dengan pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional ditinjau dari level sekolah;
3)                  Mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar matematika menggunakan model;
4)                  Pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional;
5)                  Mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematis    siswa  antara yang belajar matematika dengan pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional ditinjau dari level sekolah;
6)                  Mengetahui sikap siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah.
Penelitian  ini  diharapkan  dapat  memberikan  masukan  yang  berarti  dalam  pemilihan kegiatan pembelajaran matematika di kelas dalam upaya meningkatkan kualitas belajar siswa. Adapun manfaat lain dari penelitian ini yaitu: (1) Bagi kepala sekolah, agar menjadi pertimbangan guna memfasilitasi guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa; (2) Bagi guru, menjadi  acuan  tentang  penerapan  model  pembelajaran  berbasis  masalah  sebagai  alternatif  untuk meningkatkan  kemampuan  berpikir  kritis  dan  komunikasi  matematis  siswa;  (3) Bagi  siswa, melalui penggunaan pembelajaran berbasis masalah ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar, mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mampu mengomunikasikan gagasannya dengan baik dan lancer; dan  (4) Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang penerapan pembelajaran berbasis masalah dalam proses belajar mengajar matematika.
KAJIAN PUSTAKA
1.  Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Arends (Trianto, 2009) pembelajaran berbasis masalah (PBM) merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir, mengembangkan  kemandirian,  dan  percaya  diri.  Hal  senada  diungkapkan  pula  oleh  Suryadi (2005)  yang  menyatakan  bahwa  PBM  merupakan  suatu  strategi  yang  dimulai  dengan menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan. Pada saat siswa
menghadapi masalah tersebut, mereka mulai menyadari bahwa hal demikian dapat dipandang dari berbagai perspektif serta menyelesaikannya dibutuhkan pengintegrasian informasi dari berbagai ilmu.
Selanjutnya  Barrow  (Ismaimuza,  2010)  mengungkapkan  bahwa  masalah  dalam  PBM adalah masalah yang tidak terstruktur (ill-structure), atau kontekstual dan menarik (contextual and engaging), sehingga meransang siswa untuk bertanya dari berbagai perspektif. Menurut Slavin (Ismaimuza, 2010) karakteristik lain dari PBM meliputi pengajuan pertanyaan terhadap masalah, fokus  pada  keterkaitan  antar  disiplin,  penyelidikan  authentik,  kerja  sama, dan  menghasilkan produk atau karya yang harus dipamerkan.
Sejalan  dengan  pendapat  yang  dikemukakan  oleh  Slavin,  menurut  Pierce  dan  Jones (Howey et al, 2001) dalam pelaksanaan PBM terdapat proses yang harus dimunculkan, seperti: keterlibatan     (engagement),   inkuiri   dan   investigasi(inquiry   and   investigation),   kinerja(performance),   Tanya   jawab   dan   diskusi(debriefing).
Keterlibatan   bertujuan   untuk mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai pemecah masalah (self-directed problem solver) yang  bisa  bekerja  sama  dengan  pihak  lain,  menghadapkan  siswa  pada  situasi  yang  mampu mendorong untuk mampu  menemukan masalah, meneliti  dan menyelesaikannya.  Inkuiri  dan investigasi yang meliputi kegiatan mengeksplorasi berbagai cara menjelaskan dan implikasinya, serta kegiatan mengumpulkan dan mendistribusikan informasi. Kinerja bertujuan menyajikan temuan yang diperoleh. Tanya jawab dan diskusi, yaitu menguji keakuratan dari solusi dan melakukan refleksi terhadap pemecahan masalah yang dilakukan.
Dengan demikian PBM menghendaki agar siswa aktif untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Agar siswa aktif maka diperlukan desain bahan ajar yang sesuai dengan mempertimbangkan pengetahuan siswa serta guru dapat memberikan bantuan atau intervensi berupa petunjuk (scaffolding) yang mengarahkan siswa untuk menemukan solusinya.
2.  Kemampuan Berpikir Kritis
Dalam beberapa tahun terakhir berpikir kritis telah menjadi suatu istilah yang sangat popular dalam dunia pendidikan. Karena banyak alasan, para pendidik menjadi lebih tertarik untuk mengajarkan keterampilan berpikir dengan berbagai corak. Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran di tengah banjir kejadian dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari. Berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri.
Krulik dan Rudnick (NCTM, 1999) mengemukakan bahwa yang termasuk berpikir kritis dalam   matematika   adalah   berpikir   yang   menguji,   mempertanyakan,   menghubungkan, mengevaluasi semua aspek yang ada dalam suatu situasi ataupun suatu masalah. Sebagai contoh, ketika  seseorang  sedang  membaca  suatu  naskah  matematika  ataupun  mendengarkan  suatu ungkapan atau penjelasan tentang matematika seyogianya ia akan berusaha memahami dan coba menemukan atau mendeteksi adanya hal-hal yang istimewa dan yang perlu ataupun yang penting. Demikian juga dari suatu data ataupun informasi ia akan dapat membuat kesimpulan yang tepat dan benar sekaligus melihat adanya kontradiksi ataupun ada tidaknya konsistensi atau kejanggalan dalam informasi itu. Jadi dalam berpikir kritis itu orang menganalisis dan merefleksikan hasil berpikirnya. Tentu diperlukan adanya suatu observasi yang jelas serta aktivitas eksplorasi, dan inkuiri agar terkumpul informasi yang akurat yang membuatnya mudah melihat ada atau tidak ada suatu keteraturan ataupun sesuatu yang mencolok. Singkatnya, seorang yang berpikir kritis selalu akan peka terhadap informasi atau situasi yang sedang dihadapinya, dan cenderung bereaksi terhadap situasi atau informasi itu.
3.  Kemampuan Komunikasi Matematis
Komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematik (Turmudi, 2008).  Komunikasi  merupakan  cara  berbagi  gagasan  dan  mengklasifikasikan  pemahaman. Melalui  komunikasi,  gagasan  menjadi  objek-objek  refleksi,  penghalusan,  diskusi,  dan perombakan  (Wahyudin,  2008).  Proses  komunikasi  juga  membantu  membangun  makna  dan kelenggangan  untuk  gagasan-gagasan  serta  juga  menjadikan  gagasan-gagasan  itu  diketahui
publik.
Komunikasi matematis merefleksikan pemahaman matematis dan merupakan bagian dari daya matematis. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika,  ketika  mereka  diminta  untuk  memikirkan  ide-ide  mereka,  atau  berbicara  dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagi ide, strategi dan solusi. Menulis   mengenai matematika mendorong  siswa  untuk  merefleksikan  pekerjaan  mereka  dan  mengklarifikasi  ide-ide  untuk mereka sendiri.
Indikator  komunikasi  matematis  menurut  NCTM (1989)  dapat  dilihat  dari: (1) Kemampuan    mengekspresikan    ide-ide    matematis    melalui    lisan,    tulisan,    dan mendemonstrasikannya  serta  menggambarkannya  secara  visual;  (2)  Kemampuan  memahami, menginterpretasikan,  dan mengevaluasi  ide-ide  matematis  baik  secara  lisan,  tulisan,  maupun dalam bentuk visual lainnya; (3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika  dan  struktur-strukturnya  untuk  menyejikan  ide-ide,  menggambarkan  hubunganhubungan dengan model-model situasi.
Salah satu model komunikasi matematis   yang dikembangkan adalah komunikasi model Cai, Lane, dan Jacobsin (Wahyuni, 2010) meliputi: (1) Menulis matematis. Pada kemampuan ini siswa  dituntut  untuk  dapat  menuliskan  penjelasan  dari  jawaban  permasalahannya  secara matematis, masuk   akal, jelas serta tersusun secara logis dan sistematis. (2) Menggambar secara matematis. Pada kemampuan ini, siswa dituntut untuk dapat melukiskan gambar, diagram, dan tabel secara lengkap dan benar. (3) Ekspresi matematis. Pada kemampuan ini, siswa diharapkan mampu  untuk  memodelkan  permasalahan  matematis  secara  benar,  kemudian  melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara lengkap dan benar.
Sesuai  dengan  aspek-aspek  tersebut,  kemampuan  komunikasi  matematis  siswa  dapat terjadi jika siswa belajar dalam pembelajaran berkelompok dan berdiskusi. Melalui pembelajaran berkelompok dan berdiskusi, siswa dapat menggkomunikasikan pemikiran mereka secara koheren pada teman-teman sekelas dan guru.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Pada penelitian ini ada dua kelompok subjek penelitian yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.  Kelompok  eksperimen  mendapat  perlakuan  pembelajaran  matematika  dengan  model pembelajaran  berbasis  masalah  dan  kelompok  kontrol  dengan  perlakuan  pembelajaran konvensional. Kedua kelompok diberikan pretes dan postes dengan menggunakan instrumen tes yang sama. Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pretest-postest control group design (Ruseffendi, 1994)
Dalam  pengumpulan  data,  teknik  penelitian  yang  digunakan  penulis  adalah  tes kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis dalam bentuk uraian, angket dengan skala likert (empat pilihan) untuk mengukur sikap matematis siswa, pedoman observasi, dan daftar isian guru.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis ditinjau berdasarkan perbandingan nilai gain yang dinormalisasi (N-gain), antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat dihitung dengan persamaan:
(Hake dalam Meltzer, 2002)
dengan g adalah gain yang dinormalisasi (N-gain) dari kedua model, Smaks  adalah skor maksimum (ideal) dari tes awal dan tes akhir, Spost adalah skor tes akhir, sedangkan Spre adalah skor tes awal.
Tinggi rendahnya N-gain dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) g ≥ 0,7, maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori tinggi; (2) jika 0,3 ≤ g ≤ 0,7 maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori sedang, dan (3) jika g < 0,3, maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori rendah.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SD di Kecamatan Makmur Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. Dari sebanyak  13 sekolah, terlebih dahulu sekolah digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu sekolah dengan level tinggi, sedang dan rendah berdasarkan data hasil UASBN tahun  2010. Dengan menggunakan stratified random sampling, dari setiap level sekolah akan dipilih secara acak satu atau dua sekolah.
Selanjutnya dari sekolah yang terpilih   tersebut ditentukan kelompok eksperimen   dan kelompok kontrol.   Kelompok eksperimen adalah SDN 7 Makmur (sekolah kualifikasi rendah), SDN  5  Makmur  Kelas  IV-A  (sekolah  kualifikasi  Sedang),  dan  SDN  10  Makmur  (sekolah kualifikasi tinggi). Sedangkan kelompok kontrol adalah SDN  1 Makmur  (Sekolah kualifikasi rendah), SDN 5 Makmur Kelas IV-B (sekolah kualifikasi sedang), dan SDN 6 Makmur (sekolah kualifikasi tinggi).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
a. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Berdasarkan Pembelajaran
Untuk  mengetahui  perbedaan  peningkatan  kemampuan  berpikir  kritis  berdasarkan pembelajaran dilakukan Uji t menggunakan uji statistik Compare Mean Independent Sample Test. Hasil perhitungan selengkapnya dapat disajikan dalam Tabel 4.1 berikut.
Tabel 1
Pengujian Perbedaan Rata-Rata Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis
Tabel 1 menunjukkan bahwa nila t sebesar 6,042 dengan nilai signifikan (p-value) sebesar 0,000. Nilai signifikan ini kurang dari taraf signifikan α = 0,05 . Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis berdasarkan faktor pembelajaran ditolak. Ini berarti bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar matematika menggunakan model pembelajaran berbasis masalah  dengan  siswa  yang  memperoleh  pembelajaran  secara  konvensional.  Hasil  ini menunjukkan bahwa siswa yang pembelajaran matematika dengan model pembelajaran berbasis masalah memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dari siswa yang pembelajaran matematika dengan pembelajaran konvensional.
b. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Berdasarkan Pembelajaran
Untuk   mengetahui   perbedaan   peningkatan   kemampuan   komunikasi   matematis berdasarkan pembelajaran dilakukan Uji t menggunakan uji statistik Compare Mean Independent Sample Test.  Hasil perhitungan selengkapnya disajikan dalam Tabel 4.2 berikut.
Tabel 2
Pengujian Perbedaan Rata-rata Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis

 
Tabel  2  menunjukkan  bahwa  nila  t  sebesar  5,914  dengan  nilai  signifikan (p-value) sebesar 0,000. Nilai signifikan ini kurang dari taraf signifikan α = 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar  matematika  menggunakan  model  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan  siswa  yang memperoleh  pembelajaran  secara  konvensional.  Hasil  ini  menunjukkan  bahwa  siswa  yang pembelajaran  matematika  menggunakan  model  pembelajaran  berbasis  masalah  memiliki kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik dari siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
c.  Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Berdasarkan Level Sekolah
Untuk mengetahui perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kritis menurut level sekolah pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka perlu di uji terlebih dahulu dengan Uji Anova dua jalur. Hasil analisis datanya dapat dirangkumkan dalam tabel 3 berikut ini.
Tabel 3
Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Berpikir Kritis Berdasarkan Level Sekolah
Tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai signifikan dari faktor level sekolah adalah 0,000. Nilai signifikan  ini  kurang dari nilai α  =  0,05.  Dengan demikian  dapat  disimpulkan  bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang diajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan level sekolah.
Secara  grafik,  perbedaan  peningkatan  kemampuan  berpikir  kritis  menurut  level  sekolah diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
 

 Gambar 1
Peningkatan Kemampuan Berpikir  Kritis Menurut Level Sekolah
Berdasarkan   Gambar 1 di atas, Pembelajaran berdasarkan masalah sesuai untuk semua level sekolah (tinggi, sedang, rendah) dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini terlihat dari rata-rata skor kemampuan berpikir kritis   siswa yang pembelajarannya dengan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa siswa pada level sekolah tinggi, sedang dan rendah memperoleh manfaat yang cukup besar dalam model pembelajaran berbasis masalah. Hal ini ditunjukan melalui selisih rata-rata N-gain kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang pembelajarannya dengan PBM dan PK berturut-turut siswa level sekolah tinggi (0,1720), sedang ( 0,1734), dan rendah (0,1532 )
d. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Berdasarkan Level Sekolah
Untuk mengetahui perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan komunikasi matematis menurut level sekolah pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka perlu di uji terlebih dahulu dengan Uji Anova dua jalur. Hasil analisis datanya dapat dirangkumkan dalam tabel 4 berikut ini. 
Tabel  4 dapat diketahui bahwa nilai signifikan dari faktor level sekolah adalah 0,000.
Nilai signifikan ini kurang dari nilai α =  0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang diajarkan dengan  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan  siswa  yang  diajarkan  dengan  pembelajaran konvensional berdasarkan level sekolah.
Secara grafik, perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis menurut level sekolah diperlihatkan pada gambar di bawah ini.

 
 Gambar 2
Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Menurut Level Sekolah
Berdasarkan Gambar 2 di atas, Pembelajaran berdasarkan masalah sesuai untuk semua level sekolah (tinggi, sedang, rendah) dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Hal ini terlihat dari rata-rata skor kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya dengan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa siswa pada level sekolah tinggi, sedang
dan rendah memperoleh manfaat yang cukup besar dalam model pembelajaran berbasis masalah.
Hal ini ditunjukan melalui selisih rata-rata N-gain kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya dengan PBM dan PK berturut-turut siswa level sekolah tinggi (0,128 ), sedang ( 0,256), dan rendah (0,141).
2.  Pembahasan
a.  Pembelajaran Berbasis Masalah
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Ketika pemecahan  masalah  digunakan  sebagai  konteks  dalam  matematika,  fokus  kegiatan  belajar sepenuhnya berada pada siswa yaitu berpikir menemukan solusi dari suatu masalah matematika termasuk proses untuk memahami suatu konsep dan prosedur matematika yang terkandung dalam masalah tersebut. Menurut Herman (2006) kondisi seperti ini telah memicu terjadinya konflik kognitif  sebagai  akibat  dari  masalah  yang  diberikan  kepada    siswa.    Dalam  situasi  konflik kognitif,  siswa  akan  memanfaatkan  kemampuan  kognitifnya  dalam  upaya-upaya  mencari justifikasi dan konfirmasi terhadap pengetahuan yang ada dalam pikirannya. Melalui aktivitas mental seperti ini, kemampuan kognitif siswa mendapat kesempatan untuk diberdayakan dan dimantapkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah siswa telah berupaya secara maksimum menggunakan segenap kemampuan yang dimiliki. Jadi pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan pembelajaran biasa, menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis siswa.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu langkah dalam pembelajaran berbasis masalah adalah pengorganisasian siswa dalam kelompok belajar. Peran guru sebagai   fasilitator dan organisator tidaklah semudah yang dibayangkan. Agar pembelajaran dapat berjalan dengan efektif, guru perlu membuat perencanaan yang matang, terutama menyangkut bahan ajar   dan bentuk bantuan yang diberikan kepada siswa jika mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah.
Dalam pembelajaran kelompok, guru tidaklah sekadar mengelompokkan siswa ke dalam beberapa kelompok belajar. Namun hal yang penting dilakukan guru adalah   mendorong agar setiap siswa dapat berpartisipasi   dan berinteraksi sepenuhnya dalam aktivitas belajar. Karena interaksi yang maksimal dalam kelompok sangat menentukan keberhasilan dalam penyelesaian masalah.
Dari paparan di atas kiranya dapat dipahami bahwa keberhasilan pembelajaran berbasis masalah sangat ditentukan oleh sajian masalah yang diberikan kepada siswa, bantuan guru secara tepat dan tidak langsung ketika siswa mengalami kendala, dan interaksi  siswa dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, masalah yang disajikan kepada siswa janganlah masalah yang tidak bisa dijangkau oleh siswa. Diusahakan masalah tersebut tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit. Dengan kata lain masalah yang disajikan terjangkau oleh kemampuan siswa. Masalah yang disajikan selanjutnya harus menarik dan menantang. Hal ini dimaksudkan agar siswa mempunyai keinginan dan motivasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selain itu diusahakan intervensi guru  harus  minimal  dan  diberikan  ketika  siswa  memang  benar-benar  membutuhkan  serta diusahakan interaksi dalam kelompok berjalan dengan efektif. Tidak bisa dipungkiri dalam proses pembelajaran berbasis masalah suatu kesulitan yang akan dialami oleh guru manakala banyak kelompok mengalami kendala dalam menyelesaikan masalah. Upaya yang dapat dilakukan guru adalah dengan memberdayakan siswa dalam bekerja sama untuk berinteraksi dalam kelompok secara maksimal. Oleh karena itu, interaksi multi arah selama proses pemecahan masalah menjadi suatu kekuatan dari pembelajaran berbasis masalah.
b.  Level sekolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor level sekolah berpengaruh secara signifikan
terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, siswa dari sekolah level tinggi memperoleh peningkatan yang lebih baik dibandingkan siswa yang berasal dari level sedang dan kurang. Sementara   siswa dari level sedang lebih baik dari level kurang. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan awal lebih baik akan mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik dibanding siswa yang kemampuan awalnya kurang. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Herman  (2005) bahwa siswa dari sekolah kualifikasi baik memperoleh peningkatan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi yang   lebih baik dibandingkan siswa yang berasal dari kualifikasi rendah. Dengan demikian pembelajaran berbasis masalah dapat mengakomodasi siswa pada level sekolah tinggi, sedang, dan rendah.
KESIMPULAN
1)      Terdapat  perbedaan  peningkatan  berpikir  kritis  antara  siswa  yang  belajar  matematika menggunakan  model  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan  siswa  yang  memperoleh pembelajaran  konvensional.  Siswa  pada  kelas  pembelajaran  berbasis  masalah mengalami peningkatan  kemampuan  berpikir  kritis  yang  lebih  tinggi  daripada  siswa  pada  kelas konvensional.
2)      Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang mengikuti      pembelajaran berbasis masalah dengan siswa  yang mengikuti pembelajaran konvensional ditinjau dari level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah). Pada pembelajaran berbasis masalah,     peningkatan kemampuan berpikir kritis pada siswa sekolah level tinggi lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan berpikir kritis pada  siswa sekolah level sedang dan kurang.
3)      Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar matematika  menggunakan  model  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan  siswa  yang memperoleh pembelajaran konvensional. Siswa pada kelas pembelajaran berbasis masalah mengalami peningkatan kemampuan komunikasi matematis yang lebih tinggi daripada siswa pada kelas konvensional
4)      Terdapat  perbedaan  peningkatan  kemampuan  komunikasi  matematis  antara  siswa  yang mengikuti  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan  siswa  yang  mengikuti  pembelajaran konvensional ditinjau dari level sekolah  (tinggi, sedang, dan rendah). Pada pembelajaran berbasis masalah, peningkatan kemampuan berpikir kritis pada siswa sekolah level tinggi lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan berpikir kritis pada   siswa sekolah level sedang dan kurang.
5)      Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model pembelajaran berbasis masalah menunjukkan sikap yang positif.
Adapun rekomendasi berdasarkan penelitian ini adalah
1)      Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran berbasis masalah (PBM) dapat diimplementasikan di sekolah-sekolah level sedang   dan level tinggi atau identik dengan sekolah-sekolah yang       memiliki kemampuan siswa dengan kemampuan awal paling tidak cukup baik. Namun untuk          sekolah-sekolah dengan level kurang, disarankan agar permasalahan yang diberikan benar-benar disesuaikan dengan kemampuan awal siswa dan bimbingan guru kepada siswa dalam kelompok harus semaksimal mungkin.
2)      Berdasarkan hasil penelitian juga terungkap bahwa peningkatan yang diperoleh siswa melalui           PBM berada pada kategori sedang. Hal ini berarti masih ada hal-hal yang belum maksimal             dilaksanakan  dalam  PBM,  yaitu  masalah  yang  disajikan  kurang  mempertimbangkan    kemampuan  awal  siswa  dan  sukar  bagi  siswa  untuk  dicari  solusinya.  Dengan  demikian           disarankan bagi yang ingin menggunakan PBM agar dapat merancang masalah yang sesuai dengan kemampuan awal siswa dan masalah yang diisajikan tidak sukar, sehingga akan mencapai hasil yang lebih baik.
3)      Dalam PBM,   guru seharusnya dapat mengatur waktu secara efektif agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Oleh karena itu guru matematika harus melakukan persiapan dengan       sebaik-baiknya sebelum melaksanakan pembelajaran.
4)      Bagi guru yang akan mencobakan menggunakan model pembelajaran ini, antara lain perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1) bahan ajar yang digunakan harus dirancang dalam bentuk      masalah sehingga dapat menjadi motivasi awal untuk terjadinya proses belajar, (2) pada saat    siswa sedang berusaha untuk menyelesaikan masalah yang ada, guru jangan terlalu cepat    memberikan bantuan sampai siswa benar-benar membutuhkannya, (3) bantuan yang diberikan
guru harus seminimal mungkin dan ketika siswa benar-benar membutuhkannya.
5)      Kemungkinan  adanya  kendala-kendala  yang  akan  dialami  oleh  siswa  dalam  pemecahan masalah di awal pembelajaran perlu diantisipasi   oleh guru. Oleh karena itu, diharapkan guru dapat memberi bantuan kepada siswa untuk dapat menyelesaikan masalah. Bantuan yang diberikan berupa tidak langsung, dengan pengajuan petunjuk-petunjuk yang menghubungkan        pengetahuan awal siswa dengan masalah yang dihadapi sehingga mereka dapat menemukan penyelesaian.


DAFTAR PUSTAKA
Cabrera, G.A. (1992). A Framework for Evaluating the Teaching of Critical Thinking. Dalam  R.N Cassel (ed). Education. 113 (1). 59-63.
Depdiknas. (2003). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SD dan MI. Jakarta: Depdiknas. Duron, R., dkk. (2006). Critical Thinking Framework for Any Discipline. International Journal of       Teaching and Learning in Higher Education Vol. 17: 160-166
Herman, T. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada PPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Hidayat,  R. (2010).  Pembelajaran  Kontekstual  dengan  Strategi  dalam  Upaya Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Berpikir Kritis, dan Berpikir Kreatif Matematis Mahasiswa Bidang Bisnis. Ringkasan Desertasi Pada PPs UPI Bandung:
Howey, K.R., et al. (2001). Contextual Teaching and Learning Preparing Teacher to Enhance Student Succes in The Work Place and Beyond. Washinton: Eric Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.
IMSTEP-JICA  (1999).  Permasalahan  Pembelajaran  Matematika  SD,  SLTP,  dan  SMU  di  Kota Bandung: Bandung: FMIPA UPI.
Ismaimuza,  D.  (2010).  Kemampuan  Berpikir  Kritis  dan  Kreatif  Matematis  Siswa  SMP  melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi   Konflik Kognitif. Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkkan.
Maulana. (2008).  Pendekatan  Metakognitif  sebagai  Alternatif  Pembelajaran  Matematika  untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD. Jurnal Pendidikan Dasar No.10-Oktober 2008, 39-45.
Mayadiana, D. (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir kritis Matematik Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar. Tesis Pada PPs UPI: Tidak Diterbitkan.
Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores. American Journal of Physics [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/AJP-Dec-2002-Vo.70-1259-1268.pdf. [September 2010].
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. NCTM. (1991). Profesional Standars for Teaching Mathematics. Reston. VA: NCTM
Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas III SLTP di Kota Bandung. Disertasi Bandung: SPs UPI
Puniarti, T. (2003). Matematik Pembelajaran Geometri Berdasarkan Tahap-tahap Awal Van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi siswa SLTP. Tesis pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan.
Rohaeti, E. E. (2003). Pembelajaran dengan Metode Improve untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SLTP. Tesis Pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan